STP

PT Suri Tani Pemuka (STP) adalah anak perusahaan dari JAPFA. Mempunyai pabrik feed yang berlokasi di Sidoarjo, Banyuwangi, Cirebon, Lampung dan Medan. Selain itu ada beberapa bidang usaha lainnya, seperti Hatchery. Berlokasi di Singaraja, Banyuwangi, Cirata, Carita, Anyer, Indramayu.

Budi Istanta

Pengantar

Buku Thick Face Black Heart atau Mental Baja Pantang Menyerah karya Chin-Ning Chu adalah sebuah karya yang luar biasa bermanfaat bagi siapapun yang berminat untuk terus melakukan perbaikan dalam perjalanan hidupnya, terlebih bagi yang berkeinginan untuk benar-benar menggapai tujuannya.

Buku ini mengajarkan kepada kita untuk terus gigih dalam mencapai tujuan, tidak kenal kata menyerah sebelum tercapai tujuan yang dimaksud, namun sebaliknya juga memberikan inspirasi bagaimana tetap konsisten dalam berperilaku, terlepas dari apa pendapat orang lain dan apa pengaruhnya bagi orang lain, sepanjang tujuan itu sudah diyakini sebagai tujuan yang mulia.

Rangkuman

Mental Baja Pantang Menyerah adalah karunia dari Yang Di Atas yang diberikan kepada semua orang, tidak peduli apapun profesinya dan apapun status ekonominya. Oleh karenanya, Mental Baja Pantang Menyerah bersifat universal, siapapun dapat mengembangkan dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari, bahkan sebenarnya kita tidak perlu mencari-cari Mental Baja Pantang Menyerah, yang perlu hanya menghapus rintangan dan menemukan apa yang sudah menjadi milik kita, yaitu dengan merenungkan jati diri kita, sebab Mental Baja Pantang Menyerah sebenarnya sudah bersemayam di dalam diri kita, di dalam jiwa kita.

Mental Baja Pantang Menyerah merupakan gabungan dua frasa yaitu Mental Baja dan Pantang Menyerah. Arti secara luas, Mental Baja adalah kesanggupan mempraktekkan cara apapun yang dituntut oleh situasi terlepas dari pendapat orang lain. Sedangkan Pantang Menyerah adalah kesanggupan bereaksi tanpa mempedulikan akibat yang akan mempengaruhi orang lain. Jika dibaca secara harafiah, definisi ini tampak seperti berkonotasi negatif dan destruktif karena memberi kesan bahwa Praktisi Mental Baja Pantang Menyerah, sungguh seorang yang amat sangat egois, hanya mementingkan diri sendiri dan sama sekali tidak peduli dengan orang lain. Bagi Praktisi Mental Baja Pantang Menyerah yang masih pada tingkatan paling dasar, hal demikian sangat mungkin terjadi. Namun tidaklah demikian bagi praktisi yang telah mencapai tingkatan paling akhir. Mengapa? Karena mereka sesungguhnya telah melalui semacam proses kontemplasi, proses mencari apa yang sesungguhnya ingin diraih, dengan kata lain telah berusaha menemukan tujuan yang diyakini mulia. Dalam buku ini diistilahkan sebagai telah melalui proses pencarian jati diri.

Untuk menuju kepada tingkatan akhir kita perlu memahami tahapan Mental Baja Pantang Menyerah berikut ini:

1. Menangkan apapun risikonya.
Inilah tingkatan yang paling dasar. Pada tahap ini, praktisi sama sekali tidak memiliki hati nurani dan rasa kasihan. Tujuan adalah satu-satunya yang dipikirkan, tidak peduli bagaimana proses meraihnya. Tidak peduli tindakan yang dipilih etis atau tidak etis, orientasinya adalah hasil.

2. Pencarian jati diri.
Pada tahap ini, praktisi mengalami transformasi sehingga terlihat tidak karuan bahkan seperti tidak realistis. Praktisi bisa jadi mengalami pergumulan batin yang hebat, tidak percaya diri sampai pada akhirnya pencarian jati diri itu sendiri selesai.

3. Sang Kesatria
Nah, pada tahap inilah, praktisi sudah mampu mempertemukan kemuliaan dan rasa tidak mengenal belas kasihan. Praktisi memiliki sifat tenang dan tidak mudah terpengaruh, termasuk oleh pendapat orang lain. Sifat tenang dan tidak terpengaruh inilah yang menjadi ciri utama bagi siapapun yang mempraktekkan Mental Baja Pantang Menyerah pada tingkatan akhir.

Sudah barang tentu pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana bersiap diri untuk menjadi praktisi Mental Baja, Pantang Menyerah? Kita perlu melalui prinsip berikut:

1. Pahami bahwa untuk memilikinya pertama-tama berarti kita harus mengakui kembali jati diri alami kita sendiri. Berusaha menemukan tujuan yang diyakini mulia adalah termasuk dalam langkah ini.

2. Bahwa rasa takut adalah karunia yang diberikan Sang Pencipta bukan untuk menghancurkan, melainkan untuk membimbing dan melindungi kita. Berarti kalaupun ada rasa takut, itu adalah hal yang wajar. Tetaplah maju karena di balik rasa takut itu kita dapat menemukan hal positif yang lain.

3. Ketahui faktanya, bahwa sebagian besar dari kekhawatiran dan ketakutan tidak pernah terwujud. Optimislah selalu karena seringkali ketakutan itu sebenarnya muncul dari dalam diri kita sendiri, kita ciptakan sendiri.

4. Hadapi saja masalahnya/menyatulah dengan masalahnya, dan jangan melawan rasa takutnya.

5. Sekalipun takut, kerjakan apa yang memang harus dikerjakan.

Kembali pada jati diri, tetapkan tujuan yang diyakini mulia, tetapkan, dan kerjakan saja apa yang harus dikerjakan, baru setelah itu praktekkanlah Mental Baja Pantang Menyerah, kira-kira demikianlah pesan yang ingin disampaikan Penulis melalui karyanya ini. Lalu, tujuan yang mulia itu apa? Apa juga maksud dari; kerjakan saja yang memang harus dikerjakan? Tidakkah ini terlalu abstrak? Jawabannya tentu saja TIDAK. Kalau saja kita mau merenungkan perjalanan hidup kita selama ini dan selalu berprasangka baik maka sudah pasti kita dapat menemukan apa yang disebut tujuan yang mulia dari hidup kita. Memang kita ini masing-masing diciptakan secara unik dan masing-masing diberi talenta yang unik pula. Sebab kita pun sebenarnya diutus oleh Sang Pencipta untuk mengambil peran tertentu dalam kehidupan. Dalam bukunya Chin-Ning Chu menyebutnya sebagai dharma atau dalam bahasa lain dapat disebut sebagai Panggilan Hidup.

Jika sudah dihayati dengan tulus dan konsisten maka istilah Panggilan Hidup ini sebenarnya tidaklah beda dengan profesi. Ada di antara kita yang berprofesi di bidang kedokteran, ada yang di bidang pendidikan, ada juga yang di bidang penelitian. Bukankah sama jika dikatakan panggilan hidupnya adalah sebagai dokter, sebagai guru, atau sebagai ilmuwan? Maka sekali lagi yang paling penting adalah temukan dulu dharma kita, panggilan hidup kita, pekerjaan mulia kita, setelah itu abdikan sepenuhnya talenta kita kepadanya dan terapkan Mental Baja Pantang Menyerah. Demi sukses mencapai tujuan, bersiap sedia dan sanggupkan diri untuk mempraktekkan cara apapun yang dituntut oleh situasi, terlepas dari pendapat orang lain, dan bersiap sedia dan sanggupkan diri untuk bereaksi tanpa mempedulikan akibat yang akan mempengaruhi orang lain. Kita harus mampu mengerahkan seluruh kemampuan kita untuk mengabaikan kritik, cemoohan, dan hinaan dari orang lain, serta akibat yang akan dirasakan orang lain sambil tetap melakukan tugas yang telah kita yakini sebagai tugas mulia.

Demikianlah buku ini mengajarkan kepada kita untuk terus gigih dalam mencapai tujuan dan sekaligus memberikan inspirasi bagaimana tetap konsisten dalam berperilaku, terlepas dari apa pendapat orang lain dan apa pengaruhnya bagi orang lain, sepanjang tujuan itu sudah diyakini sebagai tujuan yang mulia. Konsep ini selaras dengan tiga prinsip dalam bekerja yang juga diuraikan dalam buku ini yaitu harus ada Purpose (tujuan), Perseverance (kegigihan), dan Patience (kesabaran).

Kegigihan yang dimaksud di sini tentu saja bukan sekedar maju terus tanpa pertimbangan, melainkan juga harus diawali dengan mengenali diri sendiri tentang kelebihan dan kelemahan kita, bahwa juga memerlukan strategi tertentu misalnya jika dapat memenangkan pertempuran dengan jalan menghindar atau melingkar, mengapa harus berhadapan langsung? Kegigihan juga mensyaratkan agar kita mampu tegar terhadap diri sendiri dan tahu bagaimana cara mendisiplinkan jalan pikiran dan tindakan kita sendiri. Dalam bahasa yang sangat indah kegigihan ini tergambar dalam ungkapan bahwa, “Meraih kemakmuran tidak hanya tentang apakah Anda mau berupaya untuk memperolehnya, akan tetapi yang lebih penting adalah apa yang siap Anda korbankan untuk kemudian ditukar dengan kekayaan.”

Melalui definisi kesabaran, buku ini pada akhirnya juga mengajarkan kepada kita untuk mengembalikan semua usaha kita kepada Sang Pencipta. Kita pasrahkan sepenuh hati kepada Sang Pencipta. Pasrah di sini bukan berarti berhenti atau menyerah, melainkan setelah segala daya upaya sudah kita lakukan secara maksimal, hasil akhirnya kita selaraskan dengan kehendak Tuhan. Sebab sesungguhnya kesuksesan kita adalah tergantung pada kesanggupan kita menciptakan kembali kreativitas Sang Pencipta dalam berkarya.

1 komentar:

Anonymous said...

Mr.Budi, I like the way you compress the story, but control your sentence. RBS

Post a Comment